Suatu waktu ada obrolan ringan sebagai pemanis kopi tanpa gula di pojokan warung di Ponorogo. Obrolan mengenai suasana yang semakin kesini semakin susah untuk dapat diterima. Bagaimana tentang kita yang belum dapat menerima globalisasi internet, bagaimana menjalani kehidupan jaman sekarang dan dahulu kala, serta obrolan rerasan setiap ada yang mubadzir jika dilewatkan.
Pertama perihal iklim dunia maya yang sarat akan sampah, hoax bertebaran tanpa filterisasi, bagaimana grub-grub Whatsapp keluarga dan alumni dijejali link-link dari website tak bertanggung jawab. Banyak berita yang disebar luaskan tanpa melalui pemilahan, apakah ini layak dibagikan atau tidak, banyak manfaatnya atau hanya menambah kadar kegoblokan. Budaya-budaya tersebut kian bebal ada disekitar kita. Fyi aja, menurut Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia berada pada rangking tersungkur dibawah dalam hal membaca. Bisa jadi karena malas membaca ini yang menyebabkan hoax dan segenap sampah bertebaran di timeline. Oh iya, dan hal itu juga linier dengan menambah kadar kegoblokan tadi. 😁
Kedua tentang damainya sebelum era smartphone. Yaitu beberapa tahun silam ketika kebanyakan masih menggunakan ponsel java. Suasana bertetangga kian damai, nongkrong di warung kopi tidak mengiang karena sebelah bahas politik dan kafir-mengkafirkan. Atau ketika ada notifikasi grub keluarga besar atau alumni, lantas isinya cerita garing, meme gak penting, atau berita hoax. Yang bikin mangkel, tittle doktor masih bisa termakan hoax juga lho. Barokallah..
Beberapa masalah yang terjadi disekitar kita diatas, rasanya semakin wajar saja. Mungkin, ketika membagikan tautan, meme, cerita gak jelas, mereka akan merasa keren atau paling menguasai informasi kali ya. Asuwok..
Dari obrolan-obrolan yang terjadi disekitar diatas, akhirnya membahas tentang nikmatnya hidup didesa. Bagaimana bersosial, bertetangga, rukun, masih ada genduren, yasinan, arisan, dan juga kegiatan berkesenian.
Saat diluar sana banyak yang membid'ah-kan yasinan, tahlilan, genduren, tapi didesa masih adem ayem menjalankan kegiatan tersebut. Selain asik dapet berkat, itu juga bagian dari silaturahmi dengan tetangga. Ya, meski ada sedikit pembahasan politik, tapi semua bisa ditawar dengan baik.
Selanjutnya masalah berkesenian. Di desa tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, ada beberapa kesenian lokal lereng gunung Kawi yang masih erat dijaga. Gajah-gajahan, jaranan thek, dan yang aseli dari Ponorogo yaitu Reyog. Awalnya saya bercerita kepada seorang teman tentang posisi saya sebagai pengurus kesenian tapi sangat jarang ikut berkesenian karena waktu dan malu. Bagaimana gengsinya anak muda jika harus berkumpul dengan orang tua, orang desa, sementara musik² blues, jazz, masih sangat menghanyutkan untuk didengarkan. Tapi yang menarik dari saran temanku adalah, bahwa aku harus selalu mendampingi warga dalam berkesenian. Memantau dan mengikuti kegiatan semampu waktuku. Karena sama halnya genduren, berkesenian di desa jauh dari urusan politik, perpecahan, dan mengkafirkan. Yang ada adalah para petani, pedagang, kuli bangunan, dalam keadaan lelah mereka berkumpul untuk bernyanyi, berjoget, bersholawat. Mereka bersyukur dengan apa yang telah mereka dapatkan, apa yang telah mereka kerjakan. Tak ada kafir mengkafirkan, tak ada yang saling tikam untuk merasa bisa. Semua asik dengan gugup rukun khas desa.
Itulah hal-hal yang saat ini sudah mulai disingkirkan, di bid'ah kan, dindesokan, akan tetapi sebenarnya ada banyak alasan kenapa itu yang harus dilestarikan.
Ada berjuta kabar baik dari desa yang perlu disampaikan, termasuk masih ramahnya desa.
Mengatasi Konflik Politik dan Mengkafirkan Melalui Kesenian
19 January 2018
Kabar Baik
Seni sangat menarik sekali
ReplyDelete