Aku menulis ini saat tidak ada sinyal di kedua provider yang ku pasang di gadgetku. Dimana untuk menuju tempat ini harus bersabar dengan jalanan makadam, tanjakan, dan didampingi jurang. Sungguh perjalanan yang bukan hanya mengandalkan perjuangan, tapi juga mendapatkan pelajaran yang berharga tentang bagaimana orang-orang di Puthuk bertahan hidup dengan damai dan guyup rukun.
Hidup disini artinya harus berjuang melalui jalanan yang bagiku kurang bersahabat. Ratusan kelompok keluarga disini gotong royong bahu membahu hidup bersama. Juga tentang manusia yang memanusiakan manusia, menjaga alam dengan suka cita, malu mengeluh karena memang hanya sesekali mengendus keangkuhan kota.
Duduk di beranda, segelas kopi gragal, dan suara aneka satwa saling bersautan merupakan keindahan yang tak bisa diabaikan. Oh iya, beberapa batang Surya juga menemani syahdunya siang yang rindang.
Mengeluh hanya untuk orang yang lemah. Begitu kiranya gambaran yang bisa ku saksikan disini. Apalah arti gaji sekelas Mentri, tapi hati tak sedamai disini. Apalah arti dirumah jika keluarga tak sehangat disini.
Saat tadi, ketika dirumah aku masih mampu membusungkan dada, bangga dengan segala yang ku punya, kuasa Tuhan disini lebih menjelma. Kedamaian yang tak kurang, merupakan elegi jika mengingat kegundahan atas segala keresahanku.
Sungguh, banyak pelajaran yang mengingatkanku akan luasnya alam ini untuk selalu mensyukuri nikmat yang maha kuasa. Maafkan hambaMu yang sering mengeluh dan lupa mensyukuri nikmatMu.
Kedamaian yang tak kurang
25 December 2016
plesiran
0 Response to Kedamaian yang tak kurang
Post a Comment